Artikel Bahasa Melayu
Rekonstruksi Peradaban untuk Melawan Terorisme

HOME

Teka-Teki Tragedi 911
Mengungkap Kemisteriusan Hambali (1)
Mengungkap Kemisteriusan Hambali (2)
Menakar Legitimasi Daftar Teroris (1)
Menakar Legitimasi Daftar Teroris (2)
Rekonstruksi Peradaban untuk Melawan Terorisme
Geopolitik Islam vis-à-vis Barat
Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam
Fundamenlatisme Dan Kekerasan Agama
Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam
Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam
Mahathir dan Terorisme Ekonomi
Terorisme, Militan, dan Zionisme
Paradigma Terorisme

 

Rekonstruksi Peradaban untuk Melawan Terorisme
 
Oleh M Hilaly Basya


Dialog peradaban yang akhir-akhir ini sering ditawarkan oleh berbagai pihak diyakini sebagai solusi efektif untuk menetralisasi terorisme.
Sayangnya proses tersebut hanya dilakukan pada kalangan terbatas, yaitu para intelektual. Sementara itu, tokoh-tokoh masyarakat yang langsung bersentuhan dengan grass root dan memiliki masalah dengan westernisasi tidak banyak terlibat di dalamnya. Jadi hasil dari dialog tersebut tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap sikap saling memahami.


Sebenarnya, jika dilibatkanpun mereka tetap akan mengalami kesulitan untuk saling memahami, sebab ada persoalan pada paradigma mereka.
Dialog menjadi tidak efektif jika kemampuan memberi dan menerima belum dimiliki. Hal ini sulit terwujud selama paradigma masing-masing tidak direkonstruksi lebih dulu. Atas dasar itu gagasan dialog peradaban, sejatinya diawali dengan rekonstruksi peradaban.


Peradaban Barat dan Islam


Kemajuan peradaban Barat telah mengikis kearifan perennial ketika alam ditempatkan sebagai mesin raksasa yang bekerja secara mekanistik dan deterministik. Tuhan, dalam paradigma Barat, telah tergeserkan dengan hukum alam yang bekerja secara matematis. Di sinilah materialisme berjaya, yang merayakan empirisme dan positivisme sebagai kebenaran tertinggi. Paradigma ini berakar kuat dari arsitek modernisme, Rene Descartes dan Newton, dan dipakai diseluruh disiplin keilmuan (Sosiologi, Biologi, Psikologi, dll). Atas dasar itulah Arnold Toynbee menyebutkan bahwa telah terjadi ketimpangan besar dalam peradaban Barat. Di satu sisi sains dan teknologi berkembang pesat, di sisi lain kearifan moral dan kemanusiaan tidak mengalami perkembangan (Choose Life: A Dialogue, 1976).


Peradaban Barat seakan menyiratkan bahwa kemajuan harus dilandasi dengan penolakan campur tangan Tuhan. Namun dampak negatif dari pandangan tersebut jelas terasa, tersingkirnya kearifan perennial. Kebijakan pemerintah Barat seakan menafikan moralitas, semuanya bermuara pada kepentingan politik kelompok.
Inilah salah satu kritik Hans Kung dalam bukunya (A Global Ethics for Global politics and Economics, 1997). Maka diskriminasi terhadap Palestina didorong oleh adanya kepentingan politik terhadap Israel. Nilai-nilai humanis tergeserkan oleh kepentingan yang lebih sempit, yaitu kekuasaan dan kekayaan.


Rasionalitas modern Cartesian-Newtonian juga mengarah pada logika oposisi biner, dimana tercipta pasangan yang bias seperti; subyek-obyek, Barat-Timur, akal-intuisi, materi-immateri, atas-bawah, laki-perempuan, dst.
Yang disebut di awal lebih sempurna dan mulia ketimbang yang terakhir. Paradigma tersebut seakan menyiratkan bahwa Barat lebih mulia ketimbang Timur (baca: Islam). Seperti dikatakan oleh Richard Rorty bahwa Barat mengidap Eurosentrisme, yaitu kebanggaan sebagai ras Eropa. Meski pendapat ini tidak bisa kita gunakan secara tepat kepada Barat dalam pengertian Amerika sebab Amerika bukan bagian dari Eropa namun setidaknya paradigma Cartesian mendorong lahirnya kebanggaan sebagai ras yang lebih unggul.
Sementara itu, sebagian besar umat Islam sendiri masih berlandas pada teologi eksklusif, yang meyakini bahwa kebenaran hanya milik Islam dan di luar Islam adalah sesat.
Ini tentu juga memunculkan arogansi teologis, sehingga relasi muslim dan non-muslim jadi terganggu. Bahkan eksklusifisme semacam ini akan mendorong untuk melakukan kekerasan. Logikanya akan membenarkan untuk menggunakan kekerasan demi tegaknya kebenaran.
Mereka merujuk pada ajaran Islam hasil konstruksi nalar klasik, yang memandang non-Muslim sebagai warga negara sekunder, yang dibebani kewajiban untuk membayar upeti kepada pemerintahan Islam.
Bahkan memandang non-Muslim sebagai kafir, suatu label yang memiliki beban pejoratif. Sungguh sebuah diskriminasi yang dilatari perbedaan teologi, seakan ada arogansi teologis.


Dalam konteks inilah nalar klasik membolehkan untuk melakukan teror terhadap kafir (Barat). Argumentasi Amrozi dkk dalam tragedi bom Bali jelas menyiratkan arogansi teologis. Atas nama Tuhan mengoyak harkat kemanusiaan.
Atas nama kebenaran menebar teror terhadap masyarakat Barat yang tak berdosa. Jadi dengan paradigma semacam ini bagaimana mungkin bisa tercipta sebuah dialog peradaban yang saling memahami dan menghargai?


Rekonstruksi Peradaban


Rekonstruksi peradaban dimaksudkan agar dapat meninjau ulang pandangan yang mendasari peradaban. Sebagaimana telah dijelaskan di awal, peradaban Barat memiliki akar yang kuat dalam paradigma Cartesian-Newtonian. Sebenarnya beberapa ilmuwan Barat sendiri telah mulai melakukan kritik dan rekonstruksi, agar Barat lebih memiliki kearifan perennial. Gerakan posmodernisme yang diwakili sayap rekonstruktif semacam Paul Ricouer, Gadamer, Fritchof Chapra, Gary Zukav, dll misalnya, telah banyak memberikan kontribusi bagi perbaikan tersebut (Bambang Sugiharto, 1996). Sayangnya, pandangan ini belum dihayati secara mendalam oleh para pengambil kebijakan di Barat (baca: Amerika). Jadi tugas awal dalam membangun dialog peradaban adalah merubah paradigma lama dalam benak mereka, dan itu adalah tugas cendekiawan Barat.


Sedangkan untuk Islam kita perlu melakukan kritik nalar Islam, maksudnya sebagai dekonstruksi atas nalar klasik, yakni dekonstruksi terhadap epistemologi yang digunakan dalam mengkonstruksi ajaran Islam. Dalam pemikiran Islam, kritik nalar diperkenalkan oleh beberapa pemikir Islam terkemuka, seperti Mohammad Abed Al-Jabiri, Mohammed Arkoun, Nashr Hamid Abu Zayd, Abdullahi Ahmed An-Naim, dll. Mereka secara khusus melakukan penelaahan pada syariah Islam, baik pemikiran Teologi, Fiqih, ataupun Filsafat.


Dalam pandangan Abdullahi Ahmed An-Naim misalnya, nalar klasik terjebak pada teks kitab suci yang diturunkan pada periode Madinah. Padahal pada periode ini ada tuntutan realitas yang mengkondisikan syariah Islam menjadi eksklusif dan lokal-partikular. Relasi muslim dan non-muslim, jender, dst berada dalam konteks ruang dan waktu yang partikular. Sehingga mengharuskan syariah dikemas dengan budaya lokal. Seperti dapat dicermati dalam kitab suci, teks yang turun diperiode ini seakan membedakan muslim dan non-muslim. Penggunaan term kafir dzimmi (kafir yang dilindungi) memposisikan mereka sebagai warga negara kelas dua, berbeda dengan muslim. Maka An-Naim menawarkan evolusi syariah, yakni beranjak meninggalkan teks periode Madinah menuju teks periode Mekkah (Abdullahi Ahmed An-Naim, 1994). Di periode ini ajaran Islam berbicara tentang sesuatu yang universal, mengenai relasi jender misalnya, laki-laki dan perempuan diciptakan setara, kemudian seruan kebaikan ditujukan kepada seluruh manusia, bukan hanya muslim. Jadi jelas, evolusi syariah adalah sebuah tawaran tentang nalar Islam modern yang memandang kesetaraan.


Sementara Al-Jabiri mencermati bahwa konstruksi ajaran Islam terkait dengan kekuasaan. Ia kerap digunakan untuk menopang kekuasaan. Oleh karena itulah nalar klasik bermain di antara pertarungan kekuasaan. Maka menurut Al-Jabiri membongkar tradisi klasik untuk membuat tradisi baru yang sejalan dengan modernitas adalah sebuah keniscayaan (Mohammad Abed Al-Jabiri, 2000).


Mengubah paradigma lama dalam umat Islam tentu merupakan tugas internal cendekiawan Islam. Dengan begitu, ajakan dialog antar peradaban lebih mudah diwujudkan, dan tidak bergerak di lingkaran kecil yang elitis.

 

Penulis adalah Peneliti Center for Moderate Moslem (CMM)

 

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0401/10/fea01.html

Sabtu, 10 Januari 2004