Artikel Bahasa Melayu
Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam

HOME

Teka-Teki Tragedi 911
Mengungkap Kemisteriusan Hambali (1)
Mengungkap Kemisteriusan Hambali (2)
Menakar Legitimasi Daftar Teroris (1)
Menakar Legitimasi Daftar Teroris (2)
Rekonstruksi Peradaban untuk Melawan Terorisme
Geopolitik Islam vis-à-vis Barat
Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam
Fundamenlatisme Dan Kekerasan Agama
Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam
Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam
Mahathir dan Terorisme Ekonomi
Terorisme, Militan, dan Zionisme
Paradigma Terorisme

 

Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam

Oleh FAUZAN AL-ANSHARI

 

 

KETIKA dua pesawat jet komersial menabrak dua gedung kembar WTC di New York Selasa Kelabu 11 September 2001, dunia terhenyak seakan tak percaya. Operasi "kamikaze" yang akurat, spektakuler, berhasil merontokkan ikon kapitalisme Barat.

 

Walaupun peristiwa itu tidak sedahsyat bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat ke Nagasaki dan Hirosima dalam Perang Dunia II, peristiwa Selasa Kelabu itu telah dijadikan momentum oleh AS untuk memulai peperangan baru. Hal itu tampak beberapa jam kemudian, Presiden AS George Walker Bush berpidato di Gedung Putih mendeklarasikan perang dengan sandi "Keadilan tak Terbatas" dan mengalokasikan dana sebesar 40 miliar dolar AS untuk membuat senjata yang ia namakan "The Crussader".

 

Deklarasi perang itu ditujukan kepada Osama bin Laden yang dituduh sebagai "tersangka utama" serangan tersebut. Padahal, Osama sedang berada di gua-gua Afganistan karena terus dikejar tentara AS dan agen-agennya yang sudah mengincarnya sejak lama. Sejurus kemudian, Bush pun mengultimatum pemerintah Taliban agar segera menyerahkan Osama tanpa syarat atau menerima paket kilat berupa carpet bombing.

 

Pemerintah Taliban pun menjawab, agar pemerintah AS lebih dulu menunjukkan bukti-bukti yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan oleh sebuah pengadilan internasional yang independen. Namun, permintaan pemerintah Taliban dijawab Bush dengan menekan PBB agar segera mengeluarkan resolusi untuk melegitimasi rencana penyerangan ke Afganistan sebagai "pembalasan" atas apa yang mereka sebut "tindakan teroris". PBB pun tak berkutik. Badan dunia tersebut dengan sigapnya mengeluarkan Resolusi Nomor 1373 Tahun 2001 untuk memberi kewenangan penuh kepada tentara AS dan sekutunya menyerang salah satu negara Muslim termiskin di dunia, Afganistan.

 

Belum cukup sampai di situ, rezim Bush pun segera membelah dunia dengan dua opsi: with us or we againts (bersama kami atau kami serang). Pilihan pertama akan memetik carrot (wortel), sedangkan pilihan kedua akan menuai stick (tongkat). Kedua pilihan itu semakna dengan opsi Dajjal yang ditawarkan kepada umat manusia pada akhir zaman. Di kedua tangan Dajjal ada api dan air. Siapa memilih api, berarti air. Memilih air, berarti api.

 

Dunia pun secara cepat menyampaikan rasa simpati kepada korban WTC sembari menyatakan dukungan dan tawaran bantuan tentara dan logistik kepada AS untuk menyerang Afganistan. Serangan dahsyat itu pun benar-benar dilakukan pada hari Ahad, 7 Oktober 2001 pukul 21.30 waktu Afganistan. Serangan kilat AS itu menelan lebih 5.000 nyawa rakyat sipil tak berdosa. Puluhan ribu terluka dan puluhan ribu lainnya mengungsi.

 

Kendati infrastruktur dan suprastruktur pemerintahan Taliban telah hancur tak bersisa, tetapi tentara sekutu yang dipimpin AS tidak berhasil menangkap Osama. Sesumbarnya, mereka ingin menangkap "singa" di tengah belantara Afgan. Mereka membakar hutannya, namun singanya sendiri tak tahu di mana rimbanya.

 

Teroris dalam perspektif Barat

 

Operasi mematikan yang bersandi "Anaconda" itu harus menelan pil pahit di sisi pegunungan Hindukush yang berselimut salju karena ternyata tentara mereka yang berlapis baju antipeluru dan berbalut senjata lengkap dengan mudahnya dipecundangi oleh Mujahidin yang hanya bersandal jepit. Mitos sebagian besar manusia yang menyebut AS sebagai adidaya yang tak terkalahkan perlahan mulai pupus oleh kenyataan di lapangan. Kenyataan pahit ini kemudian dijadikan alasan untuk memperluas peperangan melawan apa yang mereka sebut "teroris internasional".

 

Strategi yang digunakan AS adalah melakukan serangan terminologis dengan cara mengaitkan setiap tindakan "anarkisme" dengan gerakan Islam yang memiliki ciri-ciri khusus sebagaimana ditulis oleh mantan Presiden AS Ricard Nixon dalam "Seize The Moment" yang dikutip oleh Muhammad Imarah dalam "Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam" (1999:35), bahwa "Islam Fundamentalis" adalah mereka yang memunyai ciri gerakan: 1) Antiperadaban Barat, 2) Ingin menerapkan syariat Islam, 3) Akan membangun peradaban Islam, 4) Tidak memisahkan antara Islam dan negara, 5) Menjadikan para pendahulu (salaf) sebagai panduan masa depan (khalaf). Kelima ciri inilah yang dijadikan tolok ukur untuk menilai apakah gerakan Islam itu pantas disebut "fundamentalis" atau tidak. Pada ujungnya adalah lahirnya stigma "Islam teroris" yang mewajibkan pemerintah dengan gerakan Islam itu berada untuk memberangusnya dengan berbagai cara atau kalau tidak, negara itu mendapatkan stick dari Paman Sam.

 

Dalam kesempatan yang sama, AS pun memecah belah umat Islam dengan kategori "Islam Moderat" versus "Islam Radikal" yang identik dengan Islam Fandamentalis dan Teroris. Sayangnya, hingga detik ini AS yang memelopori perang melawan "teroris" telah kehilangan kecerdasannya untuk mendefinisikan apa dan yang mana yang disebut teroris. Mereka hanya sanggup memberikan ciri-ciri khusus sebagaimana disebutkan di atas sehingga dengan demikian AS dan Israel tidak termasuk ke dalam kategori teroris yang harus diperangi. AS juga tidak menyebut Jendral Pervez Musharraf yang berhasil menjadi Presiden Pakistan lewat kudeta sebagai teroris. Pasalnya, rezim Musharraf tunduk menjadi sekutu dekatnya.

 

Indonesia telah memilih carrot sekira 500 juta dolar AS, suatu jumlah yang terlalu murah untuk menggadaikan harga diri bangsa dan mengkhianati politik luar negeri bebas aktif. Komitmen Presiden Bush tersebut termasuk 130 juta dolar AS dalam bentuk bantuan bilateral untuk tahun fiskal 2002, terutama untuk reformasi hukum, 10 juta dolar AS untuk bantuan kepada pengungsi internal (IPDs), 5 juta dolar AS untuk upaya rekonsiliasi dan rekonstruksi di Provinsi Aceh, 2 juta dolar AS untuk membantu pemulangan pengungsi di NTT, dan 10 juta dolar AS untuk pelatihan polisi.

 

Selanjutnya, pemerintah Bush akan menyiapkan 100 juta dolar AS keuntungan tambahan di bawah peraturan Generalized System of Preferences (GSP) yang memungkinkan 11 produk tambahan memasuki pasar AS tanpa pajak. Akhirnya, Presiden Bush mengumumkan bahwa tiga badan keuangan perdagangan yaitu The Export-Import Bank, Perusahaan Investasi Luar Negeri (OPIC), dan Badan Perdagangan dan Pembangunan AS, telah mengembangkan ikhtiar gabungan di bidang keuangan dan perdagangan untuk mendukung pembangunan ekonomi di Indonesia. Tiga badan ini bertanggung jawab menyediakan dana sebanyak 400 juta dolar AS untuk mendorong perdagangan dan investasi di Indonesia, terutama di sektor gas dan minyak bumi. Data ini berasal dari John Gershman, seorang direktur program Hubungan Global di organisasi Interhemispheric Resource Center dan editor untuk Foreign Policy in Focus, dalam makalahnya "Memerangi Terorisme, Menggerogoti Demokrasi di Indonesia", (http://www.fpif.org).

 

Sikap pemerintah Megawati terhadap AS tersebut sangat jauh jika dibandingkan dengan bapaknya dulu yang pernah mengancam akan menyeterika Amerika dan melinggis Inggris jika mereka berani mengintervensi Indonesia. Bahkan melalui kepemimpinannya pun Indonesia berani keluar dari PBB walaupun akhirnya kembali. Menurut sejarah yang saya baca, Indonesia pada awal kemerdekaan dulu betul-betul berwibawa kendati kondisinya sangat miskin. Walaupun tingkat inflasi mencapai 650%, kemiskinan itu tidak secara otomatis dipandang sebagai merendahkan wibawanya. Lucunya, baik dulu maupun sekarang Indonesia tetap miskin. Bedanya, dulu dihormati, kini dihinakan di depan publik internasional dengan dituduh sebagai sarang teroris. Anehnya, pemerintah tidak memihak rakyatnya untuk melawan tuduhan itu, malah bersama penuduh hendak menangkapi rakyatnya sendiri.

 

Pemerintah bahkan menemukan timing dan momentumnya, untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Sabtu dini hari (19/10). Sayangnya lagi, di dalam Perpu juga tak terdapat definisi teroris yang objektif dan permanen. Perpu tersebut hanya sanggup menyebutkan ciri tindak pidana terorisme dalam Bab III Pasal 6 yaitu setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

 

Yang mengerikan adalah untuk menangkap mereka yang dituduh teroris cukup digunakan informasi intel yang telah disetujui Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri, sebagaimana diterangkan dalam Pasal 26 ayat (1): Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen, (2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.

 

Proses pemeriksaan itu dilakukan secara tertutup tidak mungkin dipantau publik tentang kebenaran informasi intel tersebut. Mungkin lebih bagus pengadilan SIM yang hanya dipimpin Hakim Tunggal, tetapi dilakukan secara terbuka.

Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penangkapan paling lama 7 x 24 jam (Pasal 28), sedangkan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan. Pasal (25 ayat 2). Sementara itu, hak-hak tersangka tidak diberikan secara sewajarnya seperti apakah ia berhak didampingi pengacara selama penyidikan atau tidak. Adapun saksi-saksi yang menyebabkan seseorang dituduh sebagai teroris tidak bisa dihadirkan di pengadilan (Pasal 34).

 

Hal ini jelas akan sangat memberatkan tertuduh karena tertuduh kehilangan haknya untuk dikonfrontasi dengan saksi sehingga hal ini sangat menguntungkan penuduh yang kebetulan membenci tersangka atau juga oleh adanya tekanan pihak asing. Belum lagi perlindungan yang begitu besar diberikan kepada saksi, penyidik penuntut umum, dan hakim yang memeriksa beserta keluarganya dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.

 

Memang, Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra berjanji untuk tidak menjadikan Perpu ini sebagai peluru untuk menembak para tokoh Islam. Namun, sejauh mana ia bisa menjamin hal itu? Dengan Perpu ini, kesaksian Omar Al-Faruq yang sangat memberatkan Abubakar Ba'asyir tidak perlu dihadirkan sehingga tertuduh akan kesulitan membantah penuduh. Yang justru dijadikan alat bukti yang sah adalah pengakuan yang direkam atau data-data intelijen. Ini sungguh kezaliman yang sa-ngat nyata sehingga harus ditolak oleh mereka yang masih memiliki nurani.

 

Ganasnya Perpu tentang tindak pidana terorisme ini jelas akan membidik para aktivis penegak syariah yang memang akan bertentangan secara diametris dengan kebijakan pemerintah. Untuk menciptakan "rasa takut massal" sebagai dasar tindakan tersebut dikatakan teror itu terlalu mudah bagi intel. Apalagi, identitas para intel itu dirahasiakan. Kewenangan para intel memang tidak memunyai batas-batas kekuasaan.

 

Terlebih lagi kredibilitas peradilan di Indonesia begitu lemah sehingga orang akan berpikir tujuh keliling sebelum menyerahkan perkaranya ke pengadilan. Karena, mencari keadilan di meja hakim dalam peradilan Indonesia tidaklah semudah membalikkan tangan. Sudah menjadi rahasia umum seringnya terjadi transaksi kasus-kasus yang sumir sehingga merontokkan wibawa palu hakim. Oleh karena itu, implementasi Perpu ini akan seperti Internal Security Act (ICA) di Malaysia, UU Antisubversif sebelum dicabut oleh Pak Habibie, UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang pernah ditolak, atau UU Keamanan Negara di Singapura.

 

Keberadaan UU tersebut jelas bertentangan dengan spirit demokrasi yang digembar-gemborkan selama ini. Dunia demokrasi telah kiamat seiring dengan berlakunya perundang-undangan di atas. Yang ada sekarang adalah bahasa kekuasaan. Pengertian teroris dan turunannya telah dihakpatenkan oleh AS. Oleh karena itu, negara-negara yang menjadi sekutunya harus memaknai teroris sebagaimana pesanan AS. Orang-orang yang dituduh teroris pun harus pula sesuai dengan "order" AS karena selama ini tidak ada teroris yang ditangkap dari Israel atau AS. Yang ditangkap adalah para aktivitas Islam yang giat memperjuangkan tegaknya syariat Islam.*** 

 

(Penulis adalah Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia)

 

http://www.pikiranrakyat.com/cetak/1202/27/0802.htm

 

Jumat, 27 Desember 2002