Rabu, 03 Maret 2004
Menakar Legitimasi Daftar Teroris
Bagian Pertama dari Dua Tulisan
Oleh: Heru Susetyo
Ketua Dewan Pengurus PAHAM Indonesia, Staf Pengajar Fakultas Hukum UI, Jakarta
Lakon pembidikan PBB dan AS terhadap Yayasan Al Haramain pimpinan Dr Hidayat Nur Wahid berakhir sudah. Melalui konferensi pers di Hotel Hilton tanggal 26 Februari 2004, Kedutaan Besar Amerika mewakili Departemen Luar Negeri AS memutuskan akan meminta PBB untuk mencabut pencantuman nama serta alamat Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam Al Haramain dari daftar gabungan PBB No 1267 (Republika, 27 Februari 2004). Sebelumnya, pada 22 Januari 2003, pemerintah AS bersama dengan kerajaan Arab Saudi meminta komite sanksi PBB yang bekerja berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No 1267 tahun 1999, menetapkan cabang Al Haramain Arab Saudi di Indonesia sebagai badan pendukung teroris. Dalam tabel butir D tentang daftar organisasi yang dicurigai terkait dengan Alqaidah, nama LP2SI Al Haramain pimpinan Hidayat muncul dalam keterangan alamat di butir b yang dikaitkan dengan organisasi lain bernama Yayasan Al Manahil di Indonesia (dapat diakses pada situs PBB www.un.org).
Pencantuman suatu yayasan, organisasi, dan individu muslim yang terkait dengan Taliban dan Alqaidah tanpa verifikasi terlebih dahulu dalam daftar 1267 ini terkesan sangat gegabah. Dewan Keamanan PBB seperti tergopoh-tergopoh membidik yayasan ataupun organisasi yang diduga keras memiliki link dengan Alqaidah pasca-peristiwa 11 September 2001 dan dengan Taliban pasca-tahun 1999.
Begitu atraktifnya manuver AS dan PBB ini, Islamic Relief, satu LSM Islam terkemuka yang bermarkas di Inggris sampai harus membuat sayembara penulisan berhadiah ribuan dolar AS hanya untuk mengungkap mengapa yayasan dan organisasi Islam begitu mudah dibekukan asetnya dan ditangkapi aktivisnya pasca-peristiwa 11 September. Jika demikian halnya, maka di manakah letak kepastian hukum dan asas praduga tak bersalah? Dan di mana pula letak hukum internasional? Apakah penetapan daftar tersebut cukup memiliki legitimasi dari hukum internasional atau lebih merupakan pemaksaan kehendak negara adidaya dengan menggunakan kendaraan PBB?
Daftar teroris pada resolusi 1267
Komite sanksi PBB yang bekerja sesuai dengan mandat resolusi No 1267 tahun 1999 tentang Situasi di Afghanistan, telah mengeluarkan daftar para individu dan organisasi yang dimiliki atau berhubungan dengan Taliban dan Alqaidah (The New Consilidated List of Individuals and Entities Belonging to or Associated with the Taliban and Alqaidah Organization as Established and Maintaned by the 1267 Committee).
Daftar tersebut memuat: (1) individu dan lembaga yang tergabung atau berhubungan dengan Taliban; (2) individu dan lembaga yang tergabung atau berhubungan dengan Alqaidah; (3) individu dan lembaga yang telah dihapus (delisting) dari daftar 1267 sesuai putusan komite. Dari daftar tersebut, 143 warga negara Afghanistan dan satu lembaga perbankan Afghanistan dianggap menjadi anggota ataupun berhubungan dengan Taliban.
Sementara itu, 152 individu dianggap menjadi anggota atau berhubungan dengan Alqaidah. Termasuk dalam daftar individu ini adalah mantan presiden Chechnya Zelimkhan Yandarbiyev, Usamah bin Ladin (daftar no 57), Dr Azahari dan Nordin Mohd Top, warga negara Malaysia yang menjadi buron polisi Indonesia, dan tujuh warga negara/berkebangsaan Indonesia yaitu: (1) Mohammad Iqbal Abdurrahman alias Abu Jibril alias Fikiruddin Muqti, (2) Fathurrahman Al Ghozi, (3) Agus Dwikarna, (4) Huda Abdul Haq alias Ali Ghufron alias Mukhlas, (5) Nurjaman Riduan Isamuddin alias Hambali, (6) Parlindungan Siregar, dan (7) Yasin Syawwak.
Dari daftar lembaga yang diduga menjadi milik atau behubungan dengan Alqaidah terdapat 103 lembaga antara lain kelompok Abu Sayyaf di Filipina (No 1) dan Jamaah Islamiyah. Jamaah Islamiyah telah dimasukkan ke dalam daftar sejak 25 Oktober 2002 (No urut 70), atau dua pekan setelah peristiwa Bom Bali, dan dibubuhi keterangan 'the network in Southeast Asia, founded by the late Abdullah Sungkar' (jaringan di Asia Tenggara, didirikan oleh almarhum Abdullah Sungkar).
Sementara itu, Al Haramain Foundation Indonesia dimasukkan dalam daftar No 18 pada 26 Januari 2004. Dalam daftar tersebut dituliskan bahwa Al Haramain Foundation di Indonesia berubah nama menjadi Yayasan Al Manahil Indonesia dan dianggap memiliki dua alamat masing-masing di Duren Sawit dan Jatipadang. Al Haramain Indonesia dimasukkan ke dalam daftar pada tanggal 26 Januari 2004. Belakangan, dengan adanya pernyataan dari Kedubes AS ini, Al Haramain yang di Jatipadang ini akan dihapus karena tak terbukti merupakan bagian dari Al Haramain Foundation, melainkan lembaga yang bernama sama namun lebih memfokuskan pada pelayanan pesantren dan studi Islam, pimpinan Dr Hidayat Nur Wahid.
Uniknya, komite ini juga menyediakan daftar individu dan lembaga yang telah dihapus dari daftar. Ada 15 lembaga dan individu yang dihapus dari daftar karena tak terbukti menjadi anggota ataupun berhubungan dengan Alqaidah-Taliban.
Korban-korban daftar teroris
Komite Sanksi PBB terus bekerja dan meng-update terus data-datanya. Ada data yang ditambah, ada pula yang dihapus. Parahnya, penambahan atau pengurangan data ini dilakukan sering tanpa proses hukum melainkan hanya berdasarkan informasi yang dianggap rahasia (classified information).
Komite Sanksi PBB bekerja berdasarkan mandat. Ia bekerja sesuai mandat dari setiap resolusi. Sanksi diterapkan ketika perbuatan suatu individu atau kelompok/negara telah mengancam perdamaian dan keamanan dunia sebagaimana tercantum dalam Bab VIII Piagam PBB (Chapter 7 UN Charter). Juga ketika langkah-langkah diplomasi dianggap menjumpai jalan buntu. Sanksi yang dijatuhkan Komite Sanksi bervariasi mulai dari sanksi ekonomi hingga aksi militer.
Komite sanksi berdasarkan mandat resolusi 1267/1999 memfokuskan pekerjaannya pada pribadi ataupun lembaga yang manjadi anggota ataupun berhubungan dengan Alqaidah dan Taliban (The Alqaidah and Taliban Sanctions Committee). Komite Sanksi menerapkan sanksi bervariasi mulai dari sanksi ekonomi hingga aksi militer.
Hingga saat ini, beberapa korban langsung maupun tidak langsung dari komite sanksi resolusi tersebut telah berjatuhan. Warga Indonesia yang tercantum dalam daftar tak luput dari incaran. Fathurrahman Al Ghozi ditembak mati di Filipina pada 2003, Riduan Isamuddin alias Hambali ditangkap di Thailand dan dibawa ke Amerika juga pada 2003. Agus Dwikarna ditahan di Filipina. Ali Ghufron dihukum berat dalam kasus Bom Bali. Sementara itu, Dr Azahari dan Nordin Mohd Top, dua warga negara Malaysia, masih diuber oleh polisi Indonesia dan Interpol. Di Dhoha, Qatar, Zelimkhan Yandarbiyev, mantan presiden Chechnya yang juga masuk dalam daftar, dibunuh dengan bom mobil pada Februari 2004.
http://www.republika.co.id/asp/koran_detail.asp?id=154842&kat_id=16