Artikel Bahasa Melayu
Mahathir dan Terorisme Ekonomi

HOME

Teka-Teki Tragedi 911
Mengungkap Kemisteriusan Hambali (1)
Mengungkap Kemisteriusan Hambali (2)
Menakar Legitimasi Daftar Teroris (1)
Menakar Legitimasi Daftar Teroris (2)
Rekonstruksi Peradaban untuk Melawan Terorisme
Geopolitik Islam vis-à-vis Barat
Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam
Fundamenlatisme Dan Kekerasan Agama
Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam
Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam
Mahathir dan Terorisme Ekonomi
Terorisme, Militan, dan Zionisme
Paradigma Terorisme

                     

                    Mahathir dan Terorisme Ekonomi

                                    Oleh: Khudori

 

 

"Terorisme ekonomi jauh lebih berbahaya daripada bom dan senjata." Inilah kesimpulan pidato Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad ketika menerima penghargaan AEFO Distinguished Fellow Award dari Persatuan Insinyur ASEAN di Sheraton Mustika Resort and Spa Yogyakarta, 22 Oktober lalu. Menurut Mahathir, terorisme ekonomi membuat tatanan ekonomi rusak, jutaan pekerja kehilangan pekerjaan, tidak ada perdamaian, kehidupan sosial menjadi kacau, penuh pembunuhan dan tindak kriminal. Bahkan, bangsa bisa bangkrut, sehingga semua milik negara dijual ke asing.

 

Bagi publik di Indonesia, ucapan Mahathir seperti "bom". Di saat penyelenggara negara di sini berkompromi, bahkan tunduk di bawah pendiktean AS, dalam memerangi terorisme, lontaran Mahathir merupakan tamparan dan kritik yang telak. Tidak kurang, AS sebagai sasaran kritik juga kebakaran jenggot.

 

Apalagi dalam forum OKI sebelumnya Mahathir telah mengiritik kebijakan AS yang pro-Yahudi. Padahal, dominasi Yahudi diyakini Mahathir sebagai biang perang, kekacauan, dan kerusakan di bumi. Tapi bagi kalangan akademik, kritik Mahathir tidaklah istimewa. Kritik itu jadi istimewa karena diucapkan seorang perdana menteri. Ketika hampir semua negara-negara di dunia tunduk di bawah ketiak AS dalam memerangi terorisme, kritik Mahathir terasa ada bobotnya.

 

Kolonialisme primitif abad ke-15 yang ditandai dengan penguasaan suatu wilayah tertentu memang sudah kuno. Tapi bukan berarti kolonialisme punah dari bumi. Dalam bentuknya yang mutakhir, kolonialisme kini berwujud pada ekspresi kapital. Pada tahun 1916, Lenin menerbitkan pamflet berjudul Imperialism, The Highest Stage of Capitalism: A Popular Outline.

 

Di bawah sensor ketat pemerintahan Tsar, Lenin mengulas pemusatan produksi di tangan negara-negara terkaya dan terkuat, sementara semakin banyak negara-negara kecil dan miskin tereksploitasi dalam genggaman mereka. Banyak orang menilai pembahasan demikian tidak relevan lagi. Padahal, kini kapitalisme dan kolonialisme telah menemukan mantel yang paling radikal: neoliberalisme (Wibowo dan Wahono, 2003).

 

Ketika pertama kali muncul pada 1950-an, neoliberalisme adalah aliran pinggiran. Neoliberalisme adalah "sekte kecil" yang tak berpengaruh (George, 1999). Tapi kini neoliberalisme menjadi mainstream dan mantra baru yang sakti. Dalam perencanaan-perencanaan pembangunan nasional, neoliberalisme telah menggusur keynesianisme.

 

Bahkan, menurut Norena Heertz dalam The Silent Takeover (2001), neoliberalisme kini telah menjadi program dunia melalui kebijakan-kebijakan IMF, Bank Dunia, dan WTO. Trio lembaga multilateral inilah yang dikritik Mahathir sebagai biang terorisme ekonomi.

 

Kesalahan trinitas absolute


Pada awal kelahirannya, ketiga lembaga Bretton Woods ini bertujuan untuk mencari format kerja sama ekonomi untuk merestrukturisasi dunia pasca-Perang Dunia II. IMF bergerak di sektor moneter, sementara Bank Dunia jelmaan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) bergerak di pembangunan ekonomi.

Tujuan utama globalisasi ekonomi saat itu adalah untuk membantu kaum miskin di dunia. Dengan menghilangkan hambatan-hambatan terhadap perdagangan perusahaan besar dan sektor investasi keuangan, mereka yakin pertumbuhan akan tercapai. Dan itu diyakini sebagai jalan keluar dari kemiskinan. Makanya, mandat GATT yang terbatas pada perdagangan barang, dinilai tidak memadai lagi. Setelah menjadi WTO, lembaga ini memiliki mandat yang sangat luas, mulai dari perdagangan barang, jasa, hingga hak kekayaan intelektual.

 

Setelah berjalan empat dekade, janji Bretton Woods kosong belaka. Kemiskinan dan ketimpangan yang semula menjadi musuh Bretton Woods justru meluas. Bahkan, ada semacam kesengajaan untuk terus dipelihara, dilestarikan, dan ditularkan agar cepat meluas.

 

Banyak sekali publikasi yang melaporkan adanya ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin di dalam negara maupun antarnegara (Faux, 1999; UNDP, 1999; 2002). Jeff Faux menyebutkan, jika pada 1980 pendapatan rata-rata 10 negara terkaya di dunia sebesar 77 kali pendapatan 10 negara termiskin di dunia, pada 1999 meningkat menjadi 149 kalinya. Lalu, pendapatan 10 persen orang terkaya di dunia pada 1980 masih 70 kalinya 10 persen pendapatan orang miskin di dunia, pada 1999 sudah berlipat jadi 122 kali. Laporan UNDP 2002 menunjukkan ketimpangan makin naik.

 

Ketimpangan itu tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, tapi juga di negara-negara maju seperti AS. Kevin Philips (1990), analis yang mantan pembantu Presiden Nixon pernah memetakan perubahan drastis atas distribusi pendapatan orang AS yang terjadi tahun 1977 dan 1988. Jika pada tahun 1977, 1 persen keluarga kaya berpendapatan 65 kali lipat dibandingkan 10 persen lapisan keluarga miskin, satu dasawarsa berikutnya 1 persen puncak itu mendapat 115 kali lipat dari lapisan bawah.

 

Sangat tidak adil dan menakutkan. Berbagai laporan itu menunjukkan bahwa sistem perdagangan dan sistem keuangan global yang diarsiteki WTO, IMF, dan Bank Dunia sebagai penyebab utamanya. Perdagangan bebas mensyaratkan semua negara menggunakan model dan perekonomian yang sama.

 

Dengan mengusung trinitas obsolut (disiplin fiskal-privatisasi-liberalisasi), doktrin perdagangan bebas mengharamkan variasi dan kekhasan kultur masing-masing negara. Dalam konteks itulah WTO berperan merancang aturan-aturan global yang seragam untuk semua negara. Dengan skema SAPs (Structural Adjustment Programs) dan <I>export oriented production<I>, IMF dan Bank Dunia bermain sebagai agen kolonialisme untuk mengeruk keuntungan dari para "pasien"-nya.

 

Inilah yang antara lain menjadi titik tekan kritik Joseph Stiglitz. Dalam bukunya Globalization and Its Discontens(2002), peraih Nobel Ekonomi tahun 2001 itu menilai tindakkan IMF dan Bank Dunia sebagai bentuk kesewenang-wenangan. Menurut Stiglitz, mendorong trinitas absolut dalam penyelesaian krisis di Asia terbukti kontraproduktif dan membuat krisis Asia semakin dalam.

 

Pemaksaan privatisasi misalnya, menurut Stiglitz, justru berbuahbriberization (rampokisasi), pelucutan aset-aset blue chips dengan harga murah, dan penyerahan sektor publik yang semula dikelola negara ke mekanisme pasar.

Berbagai ideologi dan aturan globalisasi ekonomi telah menghancurkan sumber-sumber penghidupan berjuta-juta orang. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang menjadi gelandangan, kehilangan tanah, dan hidup dalam gelimang kelaparan. Orientasi led-export production telah mengubah model pertanian yang terdiversifikasi dalam skala kecil menjadi model ekspor industrial yang digerakkan oleh korporasi global seperti Monsanto, Cargill, dan Archer Daniels Midland.

 

Perubahan ini diikuti oleh penyingkiran kearifan lokal dan kekayaan hayati setempat, yang selama berabad-abad terbukti bisa menjamin ketahanan pangan warga, digantikan oleh ketergantungan mereka pada paket teknologi korporasi global. Jika semula mereka berlimpah pangan, kini jadi miskin dan kelaparan.

 

Dalam buku Does Globalization Help the Poor (2001) yang diterbitkan IFG (International Forum on Globalization) dipaparkan 100 kutipan buku, artikel, laporan, atau penelitian yang memaparkan globalisasi kemiskinan dan ketimpangan. Misalnya, pada 1995 India mengekspor gandum dan tepung terigu senilai 650 juta dolar AS.

 

Juga beras sebesar 5 juta ton senilai 1,3 miliar dolar AS. Padahal saat itu sedikitnya 200 juta warga India kelaparan. Ekspor bukan pekerjaan petani. Ketika ekspor digalakkan, eksportir berusaha mengeruk keuntungan sebesar mungkin, tak peduli ada rakyat lapar. Kini, produksi pangan dunia berlebih. Tetapi setiap hari ada 840 juta orang kelaparan.

 

Mereka kelaparan karena tidak memiliki akses terhadap pangan yang diproduksi dan dikendalikan korporasi transnasional (TNCs) lintas negara. Sindiran Carlos Andres Perez dalam Globalizing Poverty (2000) sungguh pas. Katanya, "(IMF yang menjalankan) praktik totalitarianisme ekonomi telah membunuh: tidak dengan peluru, tetapi dengan wabah kelaparan".

 

Terorisme ekonomi


Tanpa harus dikatakan, sudah terang lekuk-liku TNCs dan organisasi multilateral dengan surveillance system-nya jauh lebih berbahaya dari terorisme bersenjata dan bom. Terorisme ekonomi bisa menciptakan ketergantungan ekonomi yang kronis, menciptakan barisan jutaan manusia miskin/lapar, generasi-generasi idiot dan IQ jongkok.

 

Terorisme ekonomi tidak begitu disadari karena dampaknya yang tidak tiba-tiba, seperti jatuhnya korban (nyawa, harta, dan benda) dalam tragedi WTC atau bom Bali. Karena itulah, kini muncul akronim plesetan terhadap lembaga-lembaga multilateral itu. IMF disingkat International Massacre Fund (Dana Pembantaian Internasional) dan WTO menjadi World Terrorist Organization (Organisasi Teroris Dunia). Ejekan ini ada benarnya juga.

 

Lewat kebijakan-kebijakan domestiknya, Mahathir bisa menjadi contoh negara yang tidak begitu saja menyerah terhadap arsitektur ekonomi dan keuangan global yang timpang. Ketika Asia diterpa krisis pada 1997, negara-negara di kawasan ini meminta IMF menjadi "dokter". Negara-negara yang menempuh kurs tetap, oleh IMF diubah jadi kurs bebas mengambang.

 

Mahathir mencium akal bulus IMF. Setelah mematok kurs ringgit sama dengan 3,8 dolar AS (September 1998) Mahathir menendang IMF dari Malaysia. Dengan cara itu, Mahathir telah menelikung kaum spekulator yang diyakininya sebagai biang keladi krisis moneter.

 

Lima tahun berlalu, ketika Indonesia masih berkutat dengan krisis, Malaysia sudah jauh melenggang. Belakangan IMF mengakui kebenaran kebijakan Mahathir. "Pertumbuhan ekonomi Malaysia sejak krisis berjalan sangat baik. Keputusan Mahathir memang benar," aku Managing Director IMF, Horst Kohler (The Star, 4/9/2003).

 

Dengan prinsip Islam yang diyakininya, Mahathir berulangkali melontarkan sistem moneter berstandarkan emas, sebagai pengganti uang kertas seperti sekarang. Dengan sistem standar emas, yang pernah berlaku selama lebih dari 250 tahun (1717-1971), pada dasarnya seluruh dunia akan memiliki (nilai) mata uang yang sama. Dengan begitu tidak akan terjadi (spekulasi) perdagangan uang. Ekonomi dan perdagangan dunia dengan demikian akan berlangsung secara lebih adil.

 

Arsitektur finansial dunia yang stabil pun akan tercapai dengan standar emas. Tak hanya berhenti pada ide, Juni 2003 Malaysia-Iran menggunakan dinar dalam transaksi dagang bilateral mereka. Meskipun tak punya pengaruh berarti, terobosan Mahathir telah membuat politisi dan bankir di negeri Barat gerah. Dalam dunia yang didominasi AS, Mahathir jadi ikon "perlawanan".

 

Khudori, Pemerhati masalah sosial-ekonomi dan agribisnis

 

http://www.icmi.or.id/berita_041103.htm, 27 Disember 2003