Artikel Bahasa Melayu
Terorisme, Militan, dan Zionisme

HOME

Teka-Teki Tragedi 911
Mengungkap Kemisteriusan Hambali (1)
Mengungkap Kemisteriusan Hambali (2)
Menakar Legitimasi Daftar Teroris (1)
Menakar Legitimasi Daftar Teroris (2)
Rekonstruksi Peradaban untuk Melawan Terorisme
Geopolitik Islam vis-à-vis Barat
Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam
Fundamenlatisme Dan Kekerasan Agama
Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam
Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam
Mahathir dan Terorisme Ekonomi
Terorisme, Militan, dan Zionisme
Paradigma Terorisme

 

Terorisme, Militan, dan Zionisme

Oleh: Adian Husaini

 

 

 

Kamis (28/8/2003), website haaretzdaily.com yang berpusat di Jerusalem, menulis dua berita berjudul (1) Hamas militant killed by IAF missile strike in Gaza Strip dan (2) US wants Israel to make gestures to Palestinian Authority. Dalam berita pertama disebutkan, Perdana menteri Israel Ariel Sharon menyatakan, telah memerintahkan tentara Israel (Israeli Defence Forces/IDF) untuk mengambil semua langkah yang perlu terhadap militan Palestina (to take "all necessary steps" against Palestinian militants).


Dalam berita kedua dilaporkan, Amerika Serikat (AS) menekan
Israel agar membuat sikap yang positif terhadap Otoritas Palestina bersamaan dengan aksi militer yang dilakukan terhadap terorisme. Dalam pesan kepada Jerusalem (pemerintah Israel) yang berasal dari pejabat pemerintah tingkat tinggi di Washington, disebutkan, Israel tidak perlu menghentikan kebijakannya untuk membunuh para teroris. Tapi, bersamaan dengan itu, Israel harus melakukan tindakan yang menunjukkan niat baik terhadap warga Palestina.


Itu yang terjadi di Palestina. Pada hari yang sama, di Indonesia, republika.co.id dan di edisi cetak Republika menurunkan berita berjudul "Tangan Gories Menjangkau Teroris". Isinya antara lain mengisahkan tentang penangkapan sejumlah aktivis Islam yang dituduh terlibat terorisme.
Bahkan, Firdaus Azam, aktivis Mer-C, ditangkap usai Shalat Subuh pada 31 Juli lalu. Ia kemudian dijebloskan ke penjara dan dipaksa mengakui keterlibatannya dalam aksi teror. Menurut laporan Republika, dia pun dikenai sejumlah siksaan fisik. Dia ditangkap berdasarkan UU No 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme.



Pada hari yang sama, koran berbahasa Inggris The Jakarta Post, yang terbit di Jakarta, juga menulis berita dalam websitenya, dengan judul: 'Pesantren' nurtures militants.
Dalam berita ini ditulis: "Central Java Police Chief Insp. Gen. Didi Widayadi said on Tuesday that several pesantren (Islamic boarding schools) in the province were believed to be home to followers of militant group Jamaah Islamiyah (JI). Didi, nevertheless, refused to disclose the names of the pesantren due to technical reasons, but stressed that police would watch their activities closely."



Empat hari sebelumnya, (
24/8/2003), koran yang sama menulis berita berjudul: "Police to watch militants". Disebutkan di sini: "A number of districts in West Java, believed to be home to extremists advocating sharia (Islamic law), are now under tight surveillance to prevent the possibility of further terrorist attacks, says provincial police chief Insp. Gen. Dadang S. Garnida."


Dalam sejumlah berita itu, digunakan istilah militan untuk menyebut sejumlah kelompok. Di Palestina istilah itu digunakan terhadap Hamas, Jihad Islam, Brigade al-Qassam, dan Hizbullah. Tampak bahwa istilah ini identik dengan teroris. Artinya, siapa yang disebut sebagai militan, maka dia adalah sama dengan teroris, dan karena itu boleh dibunuh, seperti perintah AS kepada
Israel. Akibatnya, tokoh-tokoh Hamas terus diburu dan dibunuh. Pada 22 Agustus 2003, Israel berhasil membunuh tokoh Hamas Ismail Abu Shanab. Pemakaman Shanab dihadiri sekitar 100 ribu orang dan setelah itu Hamas berjanji akan terus meningkatkan perlawanan terhadap penjajahan Israel. Pada 23 Agustus 2003, Haaretz menulis beritanya dengan judul: ''3 militants killed in Nablus; 1000s attend Abu Shanab funeral''.



Berita-berita di Haaretz memberikan kesan bahwa karena Hamas, Jihad Islam, Brigade al-Qassam adalah kaum militan, maka mereka "halal" dibunuh. Pemberitaan model begini memunculkan wacana yang sangat simplisistis dari sebuah proses pergulatan dan pertarungan yang panjang di Palestina, antara yang terjajah dan yang dijajah. Tidak muncul sama sekali wacana yang sehat, mengapa Hamas melawan penjajah dengan cara yang mereka yakini kebenarannya. Yang dimunculkan adalah wacana bahwa Hamas adalah teroris (evil) dan
Israel dengan dukungan Amerika adalah pemberantas teroris. Hamas adalah militan dan jahat, dan Israel adalah mulia dan sedang menghadapi kekuatan jahat.



Ketika sejumlah orang Yahudi ditangkap karena melakukan aksi teror terhadap warga Palestina, maka Haaretz sama sekali tidak menggunakan sebutan Yahudi militan untuk mereka.
Pada 24 Agutus 2003, Haaretz menulis sebuah berita "Nine Jews arrested for terrorist attacks against Palestinians". Di situ hanya ditulis: "Nine Jewish men were arrested in the last few days on suspicion of carrying out terrorist attacks against Palestinians in recent years." Jadi, untuk teroris Yahudi, koran ini menggunakan istilah "nine Jewish men" (sembilan orang Yahudi), bukan the "Jewish militant".


Sehari sebelumnya, dalam sebuah berita berjudul "Bush freezes assets of 6 Hamas leaders, 5 other organizations", ditulis oleh koran ini: "US President George W. Bush on Friday announced a freeze on the assets of six leaders of the Palestinian militant group Hamas and five organizations accused of financially supporting the group."
Tampaknya, setiap menulis Hamas, tidak lupa koran ini menekankan sebutan "militan", untuk memberikan image buruk terhdap istilah "militan".



Koran Haaretz didirikan di Jerusalem pada tahun 1919, atau dua tahun setelah masuknya pasukan sekutu di bawah Lord Allenby di Jerusalem yang membawa ribuan sukarelawan Yahudi. Pendirinya adalah sekelompok imigran Zionis, terutama yang datang dari Rusia. Di antara pelopornya adalah tokoh Zionis Revisionis, Vladimir Jabotinsky. Vladimir Jabotinsky (1880-1940) dikenal sebagai penulis dan orator yang brilian, yang dibesarkan di lingkungan Yahudi Rusia.


Tulisannya berjudul "The Iron Wall" (Tembok Besi), yang diluncurkan pada 4 November 1923, bisa dikatakan sebagai esai dasar bagi seluruh gerakan Zionis. Ia mengemukakan secara tegas premis-premis esensial Zionisme yang telah diletakkan sebelumnya oleh Herzl, Weizmann, atau tokoh Zionis lainnya, meskipun tidak secara jelas (Ralph Schoenman, 1998).


Gagasan Jabotinsky sangat realistis, dengan memandang Zionisme sebagai suatu imperialisme, sehingga mustahil terjadi kerjasama atau rekonsiliasi antara Yahudi dan Arab. Karena itu, Arab harus dihadapi dengan kekuatan. Schoenman mencatat pemikiran dan sejarah Jabotinsky yang berusaha menggabungkan pemikiran Zionis dan kerusakan moral. Pembantaian terhadap orang-orang Yahudi sengaja dibiarkan untuk memberikan "legitimasi moral yang besar" kepada Zionisme untuk melakukan hal yang sama terhadap orang-orang Arab.


"Pelajaran dari penghancuran Nazi terhadap Yahudi adalah bahwa sekarang dibolehkan bagi Zionis untuk menyengsarakan seluruh penduduk Palestina."
Gagasan Jabotinsky kemudian diwarisi oleh Likud, yang memiliki konvensi bahwa wilayah Palestina adalah hak bagi bangsa Yahudi. Bangsa non-Yahudi (gentile) tidak berhak tinggal di sana. Meskipun sebagai kekuatan politik sekular, Likud seringkali mengeksploitasi teks-teks Bible untuk melegitimasi pendudukan Israel atas Palestina. Pada 1993, Ariel Sharon mengusulkan dalam Konvensi Partai Likud, agar Israel secara resmi menetapkan batas wilayahnya berdasarkan Bible (Biblical borders). Padahal, kaum maximalist di kalangan Zionis menetapkan 'batas-batas Biblical' itu meliputi wilayah Palestina, Sinai, Yordania, Lebanon, dan sebagian Turki.


Karena sifat-sifat agresif dan diskriminatifnya, dalam bukunya Jewish History, Jewish Religion (1999:2) cendekiawan Yahudi, Dr. Israel Shahak, mencatat bahwa negara Israel bukan hanya merupakan bahaya bagi Yahudi, tapi juga seluruh negara di Timur Tengah.
(In my view, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond).


Karena mengeksploitasi ayat-ayat Bible untuk tujuan politik Zionis, maka persoalan Palestina menjadi sangat rumit. Jika hukum internasional dipatuhi, berdasarkan resolusi DK PBB 242 dan 338, Israel harusnya sudah menyerahkan wilayah pendudukannya (Tepi Barat dan Jalur Gaza) ke Palestina. Bahkan, Jerusalem yang kini dijadikan sebagai ibukota Israel, belum pernah disahkan oleh PBB. Sebab, berdasarkan Resolusi MU PBB 181 - yang dikeluarkan tahun 1947 dan diarsiteki oleh AS -- kota ini tidak termasuk bagian Yahudi, tetapi termasuk corpus separatum. Sepanjang sejarah Israel, AS bukannya menekan agar Israel konsisten melaksanakan resolusi-resolusi PBB, tetapi malah membuat berbagai perjanjian baru dengan berbagai syarat yang biasanya mustahil dipenuhi pihak Palestina.


Dalam soal terorisme, kebijakan Israel dan AS sudah banyak menuai kecaman internasional. Saat KTT Non-Blok di KL, Februari 2003 lalu, PM Malaysia Mahathir mengingatkan pentingnya penyelesaian masalah Palestina dalam kerangka penyelesaian masalah terorisme global. Bahkan, Mahathir menyebut masalah ini sebagai kunci penyelesaian. Di dalam pidatonya di Sidang Pembukaan GNB, dan di Stadium Nasional Bukit Jalil, 23 Februari 2003, Mahathir menyebutkan pentingnya penyelesaian masalah Palestina. Dia katakana: "If we care to think back, there was no systematic campaign of terror outside Europe until the Europeans and the Jews created a Jewish state out of Palestine Land."


Karena itu, Mahathir menegaskan, "
Palestine is key to peace."
Kini, soal Palestina, yang harusnya menjadi kunci perdamaian dunia justru semakin rumit. Pada tataran opini publik,
Israel terus-menerus memproduksi istilah-istilah untuk mendukung aksinya memburu dan membunuh para pejuang Palestina. Pasca 11 September 2001, Israel mendapat suntikan darah baru untuk memburu pejuang Palestina dan memberikan mereka label "teroris" dan "militan". Istilah ini disebarkan ke seluruh dunia, dan ironisnya kemudian diikuti oleh banyak media massa di Indonesia, tanpa melakukan klarifikasi makna. Kata "teroris" kemudian digelindingkan menjadi bola liar yang dikait-kaitkan dengan istilah lain: militan, radikal, ekstremis, 'pesantren',bahkan syariah slam.


Pada 30 Juli 2003, the Jakarta Post menggunakan istilah "militan" untuk Habib Rizieq Syihab dan Front Pembela Islam.
Sebuah berita ditulisnya: "Prosecutors demand 7 months' jail for militant leader". Prosecutors urged the Central Jakarta District Court on Tuesday to sentence chairman of Islam Defenders Front (FDI) Habib Rizieg Syihab to seven months in jail for ordering his followers to vandalize and raid nightclubs in the capital. Flanked by dozens of his followers, Rizieq did not react when prosecutor Hasan Basri said he deserved the punishment for allegedly urging his followers to spread hatred. Members of the "militant" group have attacked a number of entertainment venues here in the past few years." FPI jelas-jelas menentang aksi pengeboman dan berdemo di depan Hotel JW Marriot. Toh ia dicap juga sebagai "militan".


Beginikah cara bangsa ini menyelesaikan masalahnya? Dalam sebuah diskusi tentang terorisme dengan Komisi Hankam DPA RI - sebelum dibubarkan - saya serahkan sebuah makalah, yang isinya antara lain, usulan agar bangsa
Indonesia menentukan sendiri "definisi terorisme". Yakni, semua tindakan yang berpotensi menghancurkan bangsa, di berbagai bidang, baik politik, militer, ekonomi, maupun sosial-budaya. Dengan itu, bangsa ini tidak menjadi kacung, tetapi - istilah Bung Karno -- mandiri.

 

http://www.republika.co.id/cetak_detail.asp?id=138487&kat_id=16,

 

4  September  2003.